Jika lo lo pada suka cerita romansa dengan adegan-adegan berkeju nan
gombal, tontonlah La Tahzan. Jika lo gak keberatan dengan kisah
cinta manusia tanpa terlalu propaganda nilai-nilai tertentu, tontonlah
La Tahzan. Tetapi jika lo gak mau kedua unsur itu digabungkan dalam
satu film, then we have a problem. Hell, bahkan jika dikatakan debut film panjang Danial Rifki (penulis naskah Tanah Surga...Katanya) ini sebuah film drama percintaan Islami, hanya karena judul dan theme song dan penekanan plot pada trailer-nya,
juga rilis menjelang Lebaran, La Tahzan bisa dibilang agak melakukan
"penipuan". Film yang tadinya mau diberi judul Orenji (ejaan Jepang
untuk "orange") ini layaknya sebuah kisah percintaan berseting luar
negeri yang lumayan, tetapi dinodai oleh marketing yang keliru, yang menekankan bukan pada hal utama yang terdapat dalam filmnya sendiri.
Viona (Atiqah Hasiholan) dan Hasan (Ario Bayu) adalah dua
sahabat-sejak-kecil-kayak-pacaran-tapi-nggak-jadian, yang punya impian
yang sama untuk tinggal di Jepang. Keadaan memaksa Hasan untuk tiba-tiba
duluan bekerja ke Jepang dan tidak pernah memberi kabar sejak
berangkat. Berkat tekun belajar di tempat kursus bahasa Jepangnya,
beberapa bulan kemudian Viona, yang anak orang kaya baru lulus S1 desain
grafis, mendapatkan program belajar bahasa sambil kerja sambilan alias
"arubaito" (kata serapan Jepang untuk bahasa Jerman "arbeit" yang
artinya..err..kerja) ke "Surabaya"-nya Jepang, Osaka. Sekalian
menghidupi kehidupan di negeri impian, sesuai titipan ibunda Hasan (Dewi
Irawan), Viona diharapkan menemukan Hasan yang menghilang. Dalam rangka
tribute cerita-cerita FTV siang-siang, dalam perjalanan menuju
tempat kerja Viona tak sengaja bertemu seorang fotografer lepas bernama
Satoshi Yamada (Joe Taslim), yang tak seperti orang Jepang kebanyakan
langsung aja gitu memperkenalkan namanya pada orang asing. Mungkin ini
karena kebetulan Yamada ngerti bahasa Indonesia, karena kebetulan juga
ibunya orang Indonesia. Viona dan Yamada jadi sering jalan bareng sambil
minta tolong cariin Hasan yang sudah tidak tinggal di alamat yang
dipegang Viona. Seiring kebersamaan mereka, Yamada jatuh cinta sama
Viona, berniat melamar, bahkan bilang mau masuk Islam demi Viona.
Melihat keseriusan Yamada, Viona tetap dirundung ragu karena hatinya
masih tertambat pada Hasan yang tidak jelas keberadaan maupun isi
hatinya *tsaaah*.
Iya, filmnya bukan soal ada orang Jepang masuk Islam, tetapi lebih
tentang seorang cewek yang harus memilih antara dua orang cowok, yang
satunya baru kenal tapi selalu ada dan sangat berusaha untuk mendapatkan
hatinya, yang satu lagi udah dapet hatinya cuma nggak pernah daftar
ulang. Silakan aja bayangkan ada berbagai gombalan dan tindakan yang
"penuh cinta" yang kadang akan bikin penonton jengah dan berseru
"hadeeeuh". Atau justru tersentuh, tergantung sih. Dan yang cukup
disayangkan adalah pembuat film seperti gegabah membuat La Tahzan
sebagai film beruansa Islami. Setelah film berakhir pun, pasti banyak
yang bertanya apa hubungan keseluruhan film ini dengan judul dan
penggalan ayat yang dimunculkan di awal film. Nyatanya unsur religi
dalam film ini benar-benar hanya "nuansa", sedikit saja, bahkan baru
muncul kurang dari setengah jam sebelum film berakhir. Terlihat sekali
unsur religi hanya tempelan saja, soal Yamada yang minta diajari Islam.
Menurut gw bagian itu bukannya nggak perlu, tetapi soundtrack lagu rohani yang melatarinyalah yang nggak perlu, salah konteks dengan keseluruhan cerita film. Film ini sudah berjalan "fine-fine"
saja sebagai kisah cinta picisan, terus tiba-tiba berbalik arah selama 5
menit jadi film "religi" berhias lagu dan antribut Islami, eh terus
balik ke jalur yang sebelumnya seakan nggak terjadi apa-apa. Maksa deh.
Well, tapi di antara adegan-adegan payah, first act/set-up cerita yang
berantakan, dan sedikit "filosofi" yang kurang kena, setidaknya La
Tahzan masih punya beberapa titik yang tidak membuatnya jatuh sebagai
film yang sia-sia. Setidaknya...emm...apa ya...oh, setidaknya pilihan
yang dibuat oleh ketiga karakter utamanya pada bagian konklusi terasa
cukup wajar dan nggak dibikin-bikin, nilai yang ingin disampaikan
lumayan bisa diterimalah, kayak gw bilang sebelumnya, tidak terasa unsur
propaganda tertentu. Dan lagipula film ini punya penampilan yang oke
dari Atiqah dan Ario, juga dari effort yang luar biasa niat dari Joe Taslim. Terlepas dari aksen wicara yang masih terpeleset di sana sini, dan outfit yang kurang "ngondek", gestur mas Joe bisa lolos sebagai orang Jepang, you know,
suka ngangguk-ngangguk sendiri dan ngomong rada monyong-monyong miring
gitu. Sedikit hiburan juga ditampilkan Martina Tesela sebagai roommate
Viona yang tak bernama (atau gw kelewatan aja), juga akting komikal
Nobuyuki Suzuki yang akhirnya berakting di negeri asalnya, untungnya
bukan sebagai tentara zaman Jepang di Indonesia lagi =)).
Nah, sebenarnya alasan utama gw nonton La Tahzan ini karena filmnya
mengambil latar dan syuting langsung di Osaka, Kobe dan sekitarnya, 'kan
ceritanya eike pernah di sana sebentar, huwehehehe *pamer* *belagu*
*minta dilemparin shuriken*. Meskipun harus menghadapi berbagai
ke-"hadeuh"-an film ini, setidaknya gw bisa "temu kangen" sama Oosaka
tercinta. Wah betapa hebohnya gw ketika muncul gambar kawasan belanja
Shinsaibashi, Dotonbori, dan Umeda, sambil nunjuk-nunjuk toko-toko dan
tempat makan mana aja yang pernah gw kunjungin—Tsutaya!
Kinryu Ramen! Don Quixote! Bikkuri Donkey! Takoyaki! Iklan Glico!
*norak*. Tapi di luar hal personal itu, sebenarnya film ini udah
menunjukkan beberapa knowledge yang memang benar, mulai dari
"agama"-nya orang Jepang, pilihan memakai sepeda sebagai moda
transportasi di Osaka, orang-orang yang biar udah belajar bahasa Jepang
di Indonesia tapi waktu di Jepang langsung hancur semua ilmu *curhat*,
tentang tenaga kerja Indonesia, juga pandangan umum tentang kenapa orang
Indonesia pengen ke Jepang. Jika ada yang mungkin "nggak benar" adalah
ketika Viona bilang masakan buatan Yamada enak. Nggak mungkin enaklah, nggak pake sambel jugak :p
Anyway, film ini juga dengan oke menunjukkan Osaka sebagai kota
yang agak "menghancurkan" bayangan orang tentang Jepang, karena kotanya
nggak megah, nggak fotogenik, dan termasuk jorok untuk ukuran Jepang
=)). Tapi nggak apa-apa, itu bener dan komprehensif kok, tanpa harus ada
kewajiban memunculkan landmark ternama macam Osaka Castle atau
menara Tsutenkaku yang membuatnya hanya jadi film wisata—atau mungkin
izinnya sulit, hehe. Sayangnya, film ini masih terjebak generalisasi
"Jepang itu homogen" dengan kurang ditunjukkannya sifat-sifat khas
Osaka, utamanya soal dialek bahasa, sesuatu yang tak mungkin
terhindarkan bila berkunjung ke sana. Mungkin ini demi penyederhanaan,
daripada membuat pelajaran bahasa Viona dkk jadi tambah sulit. Tapi ya
kasihan aja, Osaka selama ini kalah pamor dari Tokyo sang rival, dan
film ini nggak membantu *ya nggak harus ngebantu juga sih*.
So, setidaknya (lagi), film ini memenuhi apa yang gw cari,
semacam mengobati kekangenan gw terhadap salah satu periode favorit
dalam hidup gw—kasih ponten tambah deh. Tetapi selebihnya, well,
palingan buat ketawa-ketawa aja, nggak ada kesan lebih. Maksud gw, kalau
mau jadi film dengan unsur religi kental, permasalahin juga dong soal
kehalalan makan-minum atau bagaimana cara cari waktu dan kiblat salat.
Dan kalau mau (dan seharusnya) unsur agama ini hanya satu bagian dari
kehidupan tokohnya, ya lebih baik jangan pasang theme song rohani, judul dan materi promosinya juga jangan misleading begini. Sayang potensi film yang kayaknya baru ganti judul beberapa bulan sebelum beredar ini tampak buyar dengan last minute decision dari siapapun itu yang bertanggungjawab, wakarahen lah gw. Well,
paling enggak, film ini sudah mempromosikan Kaiyukan (Osaka Aquarium)
dan Umeda Sky Building (gedung ada observatoriumnya) sebagai tempat
janjian, pacaran, bahkan lamaran kalau ke Osaka =P
Okee deh guyss, kalau mau tau lebih lanjut, kalau penasaran sama filmnya, langsung tonton ajadeh, gak bakal nyesel dah :D selain kisah cintanya yg romantis, film ini juga ada nilai religiusnya ;)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar